Dari Syadad bin Aus r.a., dari
Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab
(mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian.
Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta
berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini
adalah hadits hasan’)
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan urgensi
muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini.Karena hidup
di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba,
yaitu menggapai keridhaan Rab-nya.Dan dalam menjalankan misi tersebut,
seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf),
strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah).
Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.
dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan
kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka Rasulullah
dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya
serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini
sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah
visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga
kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya
hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka
waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan
planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses adalah
yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya.Orang
bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang
lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah swt.
seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya
adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi
inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari
kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang
kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada
aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya
dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’
Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah
penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa
tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat
dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai
kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal
untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat.Dan evaluasi tersebut
dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya
sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu
kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua
ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya
tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya,
terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah
memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’
Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam
Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan
lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak
pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah
akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan
hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan
Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a.
mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian
sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh
akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari
kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal
‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada
kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa
mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak.
Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita
menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a.
mengatakan:
‘Seorang hamba tidak dikatakan
bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana
makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran merupakan seorang
tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat
memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan
ketakwaan.Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi)
dirinya sendiri.Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa
adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya.Dan orang yang bertakwa,
pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah
adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah
swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal
perbuatannya. Allah swt.menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan
datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19):
95, Al-Anbiya’ (21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu
dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi
setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama
diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan
Rizki
Aspek kedua ini sering kali dianggap
remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin.Karena
sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan
pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw.
bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi
Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam
pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa
dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia
memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’
(HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah penting untuk
dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah,
akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga
sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah
hadits:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’
Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak
memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang
yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan
(pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa)
menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang
lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya.
Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan
kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu
dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi
orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas.
Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan
dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan
interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh,
memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala
kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.Bahkan karena kebaikannya tidak
cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang
dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki
apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini.
Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya sangat luas
untuk dibicarakan.Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik,
ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada
kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah,
mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat
substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah
sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya
dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah
‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah
itu sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika
dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang
tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi
dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar